Hari-hari belakangan ini di Bali dipenuhi dengan berita kontroversial, terutama terkait dengan tindakan hukum yang diterapkan pada seorang warga negara asing berinisial TEB, yang dikenal dengan nama Bonnie Blue. Penangkalan yang diajukan terhadapnya menjadi sorotan utama, bukan hanya karena statusnya sebagai kreator konten, tetapi juga karena pelanggaran hukum yang diduga dilakukannya selama berada di Indonesia.
Kasus ini mencuat setelah muncul keluhan dari masyarakat terkait aktivitas yang dianggap merugikan dan mengganggu ketertiban umum. Pemerintah dan aparat berwenang pun tidak tinggal diam dan segera mengambil tindakan tegas setelah mendapatkan informasi.
Pada 12 Desember 2025, Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai mengajukan penangkalan 10 tahun terhadap Bonnie Blue, menyusul sejumlah pelanggaran hukum yang dilakukan. Surat resmi untuk usulan penangkalan tersebut disampaikan berdasarkan hasil penyelidikan yang cukup mendalam.
Proses Hukum dan Konsekuensi yang Dihadapi Bonnie Blue
Bonnie Blue tidak sendiri dalam masalah ini; ia ditangkap bersama beberapa rekannya pada 4 Desember di sebuah studio di Pererenan. Penangkapan ini dilakukan oleh Polres Badung, yang mencurigai mereka terlibat dalam pembuatan konten pornografi.
Setelah menjalani pemeriksaan, diketahui bahwa mereka menggunakan mobil bertuliskan “BONNIE BLUE’s BANGBUS” untuk berkeliling Bali, dengan tujuan yang dinilai dapat membahayakan keselamatan umum. Selain masalah konten, tindakan ini menunjukkan kurangnya kesadaran akan hukum yang berlaku di negara tersebut.
Walaupun hasil pemeriksaan digital menunjukkan bahwa konten yang dihasilkan bersifat pribadi dan tidak memenuhi unsur pidana berdasarkan UU ITE maupun UU Pornografi, para tersangka tetap berhadapan dengan hukum. Mereka tetap dihadapkan pada pelanggaran lalu lintas yang lebih konkret dan jelas.
Penilaian Publik dan Respon Masyarakat terhadap Kasus Ini
Kejadian ini memicu beragam tanggapan dari masyarakat. Banyak yang mendukung tindakan pihak berwenang dalam menertibkan aktivitas yang meresahkan. Selain itu, ada juga kelompok yang mempertanyakan keadilan dalam penegakan hukum dan perlindungan terhadap wisatawan asing di Indonesia.
Desakan agar pemerintah lebih tegas dalam menangani kasus serupa menjadi sorotan penting. Penangkalan terhadap Bonnie Blue diharapkan menjadi peringatan bagi individu yang berencana untuk melakukan aktivitas serupa di masa mendatang.
Sejumlah warga lokal merasa khawatir akan dampak negatif dari konten yang diproduksi oleh para kreator asing, terutama dalam konteks sosial dan budaya Bali yang kaya akan tradisi. Mereka menuntut agar pihak berwenang lebih proaktif dalam melindungi nilai-nilai lokal yang dianggap terancam oleh kehadiran mereka.
Langkah ke Depan bagi Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum
Ke depan, pemerintah diharapkan dapat membuat peraturan yang lebih jelas mengenai aktivitas kreator konten di Indonesia. Pengawasan yang ketat terhadap kaum ekspatriat serta penerapan sanksi yang lebih berat bagi pelanggaran hukum harus menjadi prioritas.
Komunikasi yang lebih baik antara pemerintah daerah dan komunitas lokal juga penting untuk mencegah insiden serupa. Harapan perbaikan terhadap kerjasama ini bisa menguntungkan semua pihak dan menciptakan iklim yang lebih aman bagi turis dan penduduk lokal.
Pihak Imigrasi juga perlu menggencarkan sosialisasi hukum kepada para ekspatriat. Dengan memahami undang-undang setempat, diharapkan mereka dapat beradaptasi dan menghormati budaya Indonesia, termasuk tradisi di Bali yang sangat dihormati oleh masyarakat setempat.




