Keraton Surakarta Hadiningrat sedang mengalami sejarah baru yang penuh dinamika, mirip dengan situasi dua dekade lalu. Saat ini, dua individu saling mengklaim sebagai pewaris takhta Pakubuwono XIV, menyusul berpulangnya Pakubuwono XIII, yang membawa keraguan dan gejolak dalam masyarakat keraton.
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram, atau lebih dikenal dengan nama Gusti Purbaya, telah dilantik sebagai Raja Keraton Surakarta dalam upacara resmi yang berlangsung pada tanggal 15 November.
Pengukuhan Purbaya sebagai raja dilakukan melalui sebuah prosesi adat yang dikenal sebagai Jumenengan Dalem Nata Binayangkare. Upacara ini berlangsung di Bangsal Manguntur Tangkil, yang terletak di kompleks Keraton, tempat yang sangat sakral bagi masyarakat keraton.
Upacara pelantikan ini juga menjadi momen penting ketika Gusti Purbaya mengesahkan diri sebagai penerus mendiang ayahnya di depan jenazah Pakubuwono XIII, yang dilaksanakan beberapa hari sebelumnya. Sebuah tradisi yang menegaskan betapa pentingnya hubungan darah dan pengakuan suksesi dalam kultur keraton.
Perebutan Takhta di Keraton Surakarta: Dinamika dan Tradisi
Perebutan takhta di Keraton Surakarta kini mencuat dengan hadirnya klaim dari KGPH Mangkubumi, saudara Purbaya yang lahir dari ibu berbeda. Mangkubumi juga mengaku sebagai Pakubuwono XIV, berdasarkan aturan adat di lingkungan keluarga keraton. Hal ini jelas menunjukkan betapa rumitnya suksesi di kalangan para pewaris yang ada.
Mangkubumi menilai bahwa beberapa adik dari Pakubuwono XIII tidak dilibatkan dalam diskusi mengenai suksesi, yang kemudian memicu pertemuan di Sasana Handrawina. Pertemuan ini mengundang beberapa anak mendiang Pakubuwono XIII, dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Situasi ini tidak hanya menarik perhatian masyarakat keraton, tetapi juga menjadi perbincangan di kalangan publik yang menaruh minat terhadap budaya dan tradisi Jawa. Konflik semacam ini bukan kali pertama terjadi, melainkan merupakan bagian dari sejarah panjang Keraton Surakarta yang penuh dengan dinamika suksesi.
Dalam pertemuan tersebut, Mangkubumi kemudian dinobatkan sebagai Pangeran Pati dan diangkat menjadi raja dengan gelar SISKS Pakubuwono XIV. Hal ini semakin memperkuat posisi dualisme dalam kepemimpinan keraton, yang menghasilkan dua penguasa yang masing-masing memiliki klaim yang sah menurut pandangan mereka
Dari perspektif sejarah, sulit untuk mengabaikan pentingnya upacara dan tradisi dalam menentukan siapa yang berhak atas takhta. Baik Gusti Purbaya maupun KGPH Mangkubumi, keduanya memiliki argumen dan basis dukungan yang kuat dalam tradisi keraton.
Upacara Pelantikan dan Ikrar Kepemimpinan
Dalam upacara pelantikan, Purbaya mengucapkan sumpah jabatan yang menegaskan komitmennya untuk menjalankan segala tugas dengan keadilan dan sesuai dengan hukum adat. Ia berjanji untuk melestarikan budaya Jawa, serta menjalankan kepemimpinan berdasarkan syariat Islam. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan di keraton bukan hanya sekedar posisi, tetapi juga tanggung jawab yang sangat besar.
Dari sudut pandang sejarah, pengakuan terhadap leluhur dan warisan budaya menjadi inti dari ikrar kepemimpinan tersebut. Hal ini menjadi simbol bahwa tradisi masih sangat relevan dalam konteks pemerintahan modern, meskipun disertai berbagai tantangan.
Purbaya berkomitmen untuk mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia, menegaskan hubungan antara keraton dan negara dalam konteks yang lebih luas. Ini merupakan langkah penting untuk memperkuat legasi keraton di tengah masyarakat yang semakin modern dan dinamis.
Dari sudut pandang keraton, pentingnya menata kepemimpinan ini menjadi lebih krusial seiring dengan kompleksitas yang muncul dari dinamika politik dan sosial di Indonesia. Masyarakat keraton dihadapkan pada pertanyaan mengenai legitimasi dan keberlanjutan tradisi dalam era yang semakin berubah ini.
Dengan adanya perbedaan klaim ini, kedua pihak perlu melakukan dialog terbuka untuk mencapai kesepakatan. Membuka ruang bagi diskusi yang konstruktif dan mengedepankan suara-suara dari keluarga besar keraton akan menjadi langkah positif menuju penyelesaian.
Sejarah Dualisme Takhta di Keraton Surakarta
Sejarah Keraton Surakarta memang sarat dengan konflik internal yang berhubungan dengan suksesi takhta. Kasus polarisasi di antara penerus takhta menunjukkan bagaimana aturan adat bisa dimanipulasi untuk kepentingan pribadi. Dalam hal ini, masyarakat keraton menghadapi masalah klasik yang sering terjadi di berbagai institusi, baik di dalam maupun luar negeri.
Sebelumnya, pada tahun 2004, keraton juga pernah dilanda krisis serupa ketika KGPH Hangabehi dan KGPH Tejowulan saling klaim sebagai Pakubuwono XIII. Situasi ini memperlihatkan bahwa dualisme takhta bukanlah hal baru, tetapi merupakan bagian dari sejarah panjang yang terus berulang di keraton.
Perlu diperhatikan bahwa mendiang Pakubuwono XII tidak memiliki permaisuri meskipun memiliki anak-anak laki-laki. Hal ini menjadi alasan munculnya klaim-klaim yang saling bertentangan di antara anggota keluarga. Ketidakpastian seperti ini sering kali bisa melemahkan institusi dan merugikan warisan budaya yang telah terjalin selama berabad-abad.
Seiring berjalannya waktu, kesadaran akan pentingnya kebersamaan dan dialog di antara pihak-pihak yang berkepentingan harus tetap dipelihara. Kesepakatan dalam tradisi suksesi dapat menjadi satu-satunya jalan untuk menjaga keharmonisan di dalam keraton dan masyarakat luas.
Dengan demikian, peristiwa terkini ini membuka peluang untuk refleksi lebih dalam mengenai bagaimana keraton sebagai institusi bisa beradaptasi dengan perubahan zaman, sambil tetap menghormati akar tradisi yang ada.




