Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat ada 21 pasal dalam Rancangan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menunjukkan adanya masalah baik dari segi norma maupun kelembagaan. Pembahasan ini menarik perhatian banyak pihak karena berkaitan langsung dengan keberadaan dan fungsi Komnas HAM di Indonesia.
Pasal yang mencakup isu-isu kritis tersebut antara lain Pasal 1, Pasal 10, serta Pasal 79 hingga Pasal 127. Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi lebih lanjut bagaimana perubahan tersebut dapat berdampak pada perlindungan hak asasi manusia di Tanah Air.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Putu Elvina, mengungkapkan bahwa tugas dan wewenang Komnas HAM diatur dalam beberapa pasal yang mengatur perannya dalam pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi. Namun, rancangan baru ini mengubah substansi peran tersebut dengan signifikan.
Perubahan Signifikan Dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia
Dalam rancangan terbaru, Pasal 109 menyatakan bahwa Komnas HAM tidak memiliki wewenang untuk menerima dan menangani pengaduan dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai masa depan lembaga ini sebagai entitas yang sejatinya bertugas melindungi dan menegakkan hak asasi manusia.
Putu menegaskan bahwa penetapan panitia seleksi anggota Komnas HAM oleh Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 ayat (2), juga berpotensi mengancam independensi lembaga tersebut. Dalam UU No. 39 Tahun 1999, prosedur seleksi lebih menekankan pada independensi dengan adanya sidang paripurna Komnas HAM.
Kurangnya independensi ini dapat mengarah pada konsolidasi kekuasaan di tangan pemerintah, yang pada gilirannya menimbulkan konflik kepentingan. Dalam konteks ini, Komnas HAM seharusnya berfungsi sebagai penegak hukum dan bukan berada di bawah pengaruh pemerintah yang berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Dampak Pembatasan Kewenangan Pada Peran Komnas HAM
Pembatasan kewenangan pada Komnas HAM, terutama dalam bidang pendidikan dan penyuluhan mengenai hak asasi manusia, dapat mengakibatkan berkurangnya upaya pencegahan pelanggaran hak asasi di masyarakat. Melalui program penyuluhan yang telah berjalan, masyarakat dapat lebih sadar akan hak-hak mereka.
Lebih jauh lagi, dihapuskannya kewenangan pengkajian peraturan perundang-undangan juga berarti bahwa lembaga ini tidak dapat melakukan fungsi korektif. Tanpa adanya pengawasan yang kritis terhadap peraturan yang berpotensi menyalahi prinsip-prinsip hak asasi manusia, risiko terulangnya pelanggaran semakin besar.
Pembatasan terhadap kerjasama pengkajian dengan organisasi nasional dan internasional juga akan membatasi kapasitas Komnas HAM dalam menangani isu-isu global terkait pelanggaran hak asasi manusia. Dalam dunia yang semakin terkoneksi ini, kolaborasi lintas batas menjadi sangat penting untuk memperkuat respons terhadap masalah yang ada.
Urgensi Penguatan Lembaga Hak Asasi Manusia di Indonesia
Rancangan revisi UU HAM yang ada saat ini dapat dilihat sebagai langkah mundur bagi keberadaan Komnas HAM. Kewenangan yang sudah terbatas jelas menghalangi lembaga tersebut dalam menjalankan misi utamanya untuk melindungi hak asasi manusia. Dengan begitu, pembatasan ini justru berpotensi menghapuskan peran penting lembaga ini dalam sistem perlindungan HAM di Indonesia.
Putu mendorong agar substansi rancangan revisi ini diperkuat, bukan malah dipersempit. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia sehingga prinsip-prinsip HAM dapat diterapkan secara konsisten dalam setiap aspek kehidupan masyarakat.
Komnas HAM sendiri telah menyusun naskah akademik dan daftar inventarisasi masalah yang menekankan pentingnya penguatan norma HAM serta pemenuhan hak asasi oleh pemerintah. Ini menunjukkan bahwa meskipun terjadinya penurunan kewenangan, lembaga ini tetap berkomitmen untuk memperjuangkan HAM.




