Ariana Grande mengungkapkan perjalanan emosional dan mental yang dialaminya saat menggarap album “Thank U, Next.” Masa-masa tersebut diwarnai dengan kesedihan dan stres yang mendalam akibat peristiwa tragis yang menimpanya.
Tragedi bom yang terjadi di konsernya di Manchester pada tahun 2017 mengakibatkan dampak psikologis yang berkepanjangan. Hal ini memunculkan masalah serius seperti Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), yang mengubah cara pandangnya terhadap hidup.
PTSD bukan hanya sekedar kenangan yang menyakitkan, tetapi juga membuat Ariana mengalami kilas balik, rasa ketakutan berlebihan, hingga kesulitan tidur. Aset ini mengganggu ketenangan pikirannya, sehingga ia merasa hidupnya tertekan antara kenangan dan kenyataan.
Di tengah perjalanan ini, Ariana juga berjuang melawan depresi yang kian menghantuinya. Banyak momen di mana ia merasa kehilangan energi dan semangat untuk melakukan hal-hal yang dulunya membawa kebahagiaan baginya.
Bagaimana Trauma Membentuk Karya Seni Ariana Grande?
Musik menjadi sarana baginya untuk menyalurkan berbagai perasaan yang sulit diungkapkan. Dengan menciptakan lagu-lagu, ia dapat menjalin kembali benang merah emosinya yang ters scattered setelah serangkaian peristiwa tragis.
Setiap lirik, melodi, dan nada menjadi cerminan dari perasaannya di fase-fase tergelap dalam hidupnya. Hal ini membuat penggemar tidak hanya menikmati musiknya, tetapi juga merasakan kedalaman emosional yang ia tawarkan.
Dari album “Thank U, Next,” kita dapat melihat bagaimana Ariana mampu mengubah rasa sakit menjadi kekuatan. Ia membagikan kisahnya secara terbuka kepada publik, memberikan ruang bagi banyak orang untuk memahami pentingnya menjaga kesehatan mental.
Hubungan yang ia jalani sebelumnya juga turut memberikan warna dalam karya-karyanya. Kehilangan mantan pacarnya, Mac Miller, semakin menambah beban emosional yang harus ia tanggung dalam pencarian jati diri.
Perjuangan Melawan Depresi dan Kecemasan
Ariana tidak hanya berjuang melawan PTSD, tetapi juga depresi dan kecemasan yang turut membayanginya. Kedua gangguan ini sering kali muncul bersamaan, memperparah keadaan mentalnya.
Depresi menimbulkan perasaan kosong yang menyakitkan, sebuah pengalaman yang sangat berat untuk dijalani. Meskipun tampil di depan publik, ia kerap merasa kehilangan kendali atas emosinya sendiri.
Sementara itu, kecemasan membuatnya terjebak dalam pikiran yang terus menerus berpacu. Ia sering merasa gelisah tanpa alasan yang jelas, membuatnya sulit untuk menikmati momen-momen sederhana dalam hidup.
Ketidakpastian ini pun terkadang merongrong kepercayaan dirinya sebagai seorang seniman. Namun melalui dukungan dari penggemar dan orang-orang terdekat, Ariana berusaha untuk terus berjuang dan bercahaya di tengah kegelapan.
Kekuatan dari Musik Sebagai Terapi
Musik, bagi Ariana, bukan sekadar hobi, tetapi juga bentuk terapi yang sangat ampuh. Dengan menciptakan lagu-lagu, ia menemukan cara untuk mengekspresikan rasa sakit dan kesedihannya.
Karya-karya yang lahir dari pengalaman pahitnya memberikan pemahaman lebih dalam tentang isu kesehatan mental. Ia berharap, melalui musik, orang-orang lainnya juga bisa menemukan cara untuk sembuh dan merangkai kembali harapan.
Lagunya yang penuh emosi menciptakan koneksi yang unik dengan pendengarnya. Banyak yang menemukan penghiburan dalam lirik-liriknya, menjadikannya suara bagi mereka yang merasa terpinggirkan.
Ariana percaya bahwa berbagi cerita adalah salah satu langkah penting dalam proses penyembuhan. Oleh karena itu, ia tak ragu untuk membuka diri dan berbagi pengalaman pribadinya.
Dalam setiap penampilan, ia mengajak pendengarnya untuk tidak merasa sendirian. Pesan ini, diharapkan, mampu meruntuhkan stigma seputar kesehatan mental dan memberikan dorongan untuk mencari bantuan saat diperlukan.




