Warga adat Negeri Kaibobo yang berada di Kecamatan Kairatu Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, mengambil langkah tegas dengan memblokade jalan. Aksi ini dilakukan dengan menggunakan batang pohon besar yang menutup total akses transportasi antar kabupaten di Pulau Seram, menyebabkan kegemparan bagi warga setempat.
Protes ini muncul sebagai reaksi terhadap rencana pembangunan Batalion TNI Kodam XVI/Pattimura di atas lahan adat yang mereka klaim. Hal ini mencerminkan berbagai isu yang sering kali dihadapi masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak mereka.
Tindakan warga ini adalah simbol ketidakpuasan yang mendalam dan penolakan terhadap kebijakan yang dianggap mengabaikan hak-hak ulayat mereka. Terlibatnya aparat keamanan dalam situasi yang tegang ini menambah kompleksitas permasalahan yang ada.
Tindakan Protes Warga Kaibobo dan Reaksi Pemerintah Setempat
Dandim Seram Bagian Barat, Letkol Inf Rudolf Faulus, mencoba meredakan situasi yang memanas antara aparat dan warga. Namun, upaya ini justru mengundang perdebatan sengit antara dia dan sejumlah warga yang hadir di lokasi.
Dalam sebuah video yang beredar, Letkol Rudolf menekankan bahwa blokade bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Dia mengingatkan warga bahwa jalan yang mereka tutup adalah jalan umum, mengundang reaksi dari masyarakat adat yang merasa hak-hak mereka diabaikan.
Dalam interaksi tersebut, warga menjelaskan dengan tegas bahwa mereka menganggap hak ulayat mereka penting dan harus dijunjung tinggi. Keberanian mereka menunjukkan semangat mempertahankan identitas kultur yang sering kali ditantang oleh kepentingan pembangunan.
Menyikapi Hak Ulayat dan Keterlibatan Pemerintah
Raja Negeri Kaibobo, Alex Kuhuwael, berulang kali menyuarakan tuntutan untuk menghentikan pembangunan Batalion TNI di lahan yang mereka anggap milik adat. Dia menegaskan bahwa mereka tidak akan menyingkirkan batang pohon yang menghalangi jalan sampai ada dialog dengan pejabat pemerintah daerah.
Aksi blokade yang dilakukan bukan tujuan untuk menciptakan bentrokan, melainkan sebagai sarana untuk menuntut hak-hak ulayat yang biasanya diabaikan. Alex menilai bahwa kedatangan mereka adalah untuk berdialog dalam rangka menegakkan hak mereka.
Bupati Seram Bagian Barat, Asri Arman, serta Wakil Bupati Silfanus Kainama turut hadir untuk menjembatani dialog antar pihak. Penegasan dari pemerintah lokal ini menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada dengan cara yang lebih bermartabat.
Komunikasi dan Resolusi yang Diharapkan
Pemerintah setempat berkomitmen untuk mengundang semua pihak yang terlibat, termasuk Kepala Desa Administrasi Waisamu dan Raja Negeri Kaibobo, untuk menyelesaikan masalah lahan adat ini. Empati terhadap situasi yang dihadapi kaum adat diharapkan bisa membawa hasil yang lebih baik dengan adanya dialog yang konstruktif.
Asri Arman meminta agar warga bersikap tenang dan tidak melanjutkan aksi blokade yang dapat mengganggu aktivitas masyarakat lain, terutama bagi mereka yang membutuhkan akses untuk layanan kesehatan. Ini adalah panggilan untuk solidaritas dalam komunitas yang lebih besar.
Masyarakat diharapkan bisa menyuarakan aspirasi mereka dengan cara yang aman dan terhormat, tanpa harus melakukan tindakan ekstrem yang justru bisa berujung pada konflik. Dialog terbuka perlu diutamakan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan hak ulayat.